Betapa berhikmahnya ketetapan Allah ketika Dia memerintahkan kepada seluruh wanita muslimah untuk mengenakan jilbab, sebagai pembeda antara yang baik dan yang benar, sebagai pembatas siapa yang beragama Islam dan siapa yang berdiri di luar koridor islam. Allah telah memerintahkan muslimah untuk menutupi auratnya, semata-mata Dia ingin mengetahui sejauhmana keimanan dan ketaatan pada-Nya. Apakah akan taat, atau menyerah di tengah jalan, bahkan terhempas di sudut syari’at islam.
***
Hari itu, langit tak begitu mendung, namun
matahari malu menampakkan mahkota cahayanya kepada bumi. Angin sepoi-sepoi
menghantarkan rahmat dari Tuhan kepada manusia yang ditimpa kelelahan menjalani
pekerjaan di atas sajadah panjang milik-Nya.
Dia berjalan pasti, menyusuri pematang
sawah desa yang subur, hijau bak permadani yang Allah bentangkan diantara
taman-taman padi yang mulai menguning.
Nur namanya, ia adalah seorang wanita yang memerjuangkan
sosialisasi jilbab di seluruh komunitas remaja di salahsatu kota kecil di
timur, Kebumen. Kau tahu
kawan, betapa sulitnya ketika pemerintah orde baru menetapkan aturan sekuler
yang sangat menghentak, memaksa, dan tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan
Pemilik Alam Semesta.
Saat itu, wanita yang memakai jilbab akan menanggung resiko
dikeluarkan dari sekolah, di sindir dimana-mana, diejek oleh guru sekolah
karena dianggap tidak nasionalis, begitu alasan mereka.
Nur berencana ingin belanja keperluan untuk acara halaqah tarbawiyah
sore harinya, dan untuk itulah dia ingin membeli makanan kecil di pasar
Kutowinangun.
Sesampainya disana ia menuju sebuah kios makanan kecil di tengah-tengah pasar, dan perhatiannya pun tertuju di sebuah kios bakpau. Ia dekati, nampaklah seorang penjual wanita dengan muka tionghoa memakai serbet di pinggangnya, tersenyum tipis kepadanya. Di hadapannya berderet bakpau yang masih berasap, putih bersih dan mengembang, dan dibelakangnya ada bakpau yang tampak biasa saja, tidak ada keistimewaannya.
Sesampainya disana ia menuju sebuah kios makanan kecil di tengah-tengah pasar, dan perhatiannya pun tertuju di sebuah kios bakpau. Ia dekati, nampaklah seorang penjual wanita dengan muka tionghoa memakai serbet di pinggangnya, tersenyum tipis kepadanya. Di hadapannya berderet bakpau yang masih berasap, putih bersih dan mengembang, dan dibelakangnya ada bakpau yang tampak biasa saja, tidak ada keistimewaannya.
Nur pun mulai menawar..
“Bu, yang warna putih ini satunya berapa
ya, Bu?”
Namun sang ibu penjual berpaling ke
belakang dan kembali meneruskan membuat bakpau yang setengah jadi,
“Kalau mau beli bakpau jangan yang itu,
Mbak!” pintanya sambil terus membuat bakpau.
Nur heran, kenapa si Ibu ini malah berkata
seperti itu.
“Kenapa, Bu? Harganya mahal ya? Jadi Ibu
nggak jual kepada saya?”
“Bukan mbak, nggak apa-apa, tapi jangan beli yang itu, yang warna lainnya aja! Enak kok?”
“Lho Bu, tapi saya mau beli yang warna putih ini, yang ibu taruh di tempat yang paling depan, ini pasti yang paling enak kan?”
“Mbak ini dibilangin jangan, ya jangan mbak..sudah kalau masih ngotot ke penjual lain saja!..” si penjual membentak.
Persoalannya sepele, Nur tidak boleh membeli bakpau putih yang dijual oleh si Ibu tadi. Nur heran. Bingung. Tapi daripada memerpanjang masalah, lebih baik Nur pergi saja. Dan ia langkahkan lagi kakinya menuju kios lain, namun sang penjual bakpau memberi isyarat.
“Sst…ssst……mbak, sini mbak…!”
Nur kembali lagi ke Ibu penjual bakpau.
“Mbak mau tahu, kenapa saya tidak menjual ini kepada Mbak?”
“Kenapa, Bu?” tanyanya penasaran.
Si penjual melirik ke kanan dan kekiri, seakan ingin menyampaikan rahasia kepada Nur. Dengan berbisik si penjual memberikan alasannya.
“Yang Putih ini dibuat dari babi, tapi jangan bilang siapa -siapa ya!”
Sontak Nur kaget, berani-beraninya si penjual menjual daging babi di pasar seperti ini, apalagi yang membeli biasanya orang muslim pula.
Si penjual meneruskan...
“Bukan mbak, nggak apa-apa, tapi jangan beli yang itu, yang warna lainnya aja! Enak kok?”
“Lho Bu, tapi saya mau beli yang warna putih ini, yang ibu taruh di tempat yang paling depan, ini pasti yang paling enak kan?”
“Mbak ini dibilangin jangan, ya jangan mbak..sudah kalau masih ngotot ke penjual lain saja!..” si penjual membentak.
Persoalannya sepele, Nur tidak boleh membeli bakpau putih yang dijual oleh si Ibu tadi. Nur heran. Bingung. Tapi daripada memerpanjang masalah, lebih baik Nur pergi saja. Dan ia langkahkan lagi kakinya menuju kios lain, namun sang penjual bakpau memberi isyarat.
“Sst…ssst……mbak, sini mbak…!”
Nur kembali lagi ke Ibu penjual bakpau.
“Mbak mau tahu, kenapa saya tidak menjual ini kepada Mbak?”
“Kenapa, Bu?” tanyanya penasaran.
Si penjual melirik ke kanan dan kekiri, seakan ingin menyampaikan rahasia kepada Nur. Dengan berbisik si penjual memberikan alasannya.
“Yang Putih ini dibuat dari babi, tapi jangan bilang siapa -siapa ya!”
Sontak Nur kaget, berani-beraninya si penjual menjual daging babi di pasar seperti ini, apalagi yang membeli biasanya orang muslim pula.
Si penjual meneruskan...
“Saya tau mbak muslim,
karena mbak pake jilbab. Makanya saya nggak jual ke mbak!”
***
Nur bersyukur kepada Allah, dia akhirnya
mendapatkan hikmah yang luar biasa dari-Nya, ketika muslimah mencoba patuh
kepada Allah dengan cara menutup auratnya dengan jilbab,maka Allah menjaganya
dari keharaman binatang yang dilarang untuk kaum muslimin. Dan kisah ini selalu
ia sampaikan ketika memulai pengajian remaja di lingkungan sekitar, dan banyak
muslimah yang terinspirasi dari kisah kecil ini. kisah sederhana bernilai
dahsyat yang mengantarkan banyak remaja putri untuk mengenakan jilbab, untuk
menjaga diri mereka dari yang diharamkan Allah.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut. Wallahu'alam. :)
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut. Wallahu'alam. :)
Buletin Al-I'lan/edisi 4/Juni 2012
1 komentar:
Sip! Keren..