Negeri
ini payah! Kejahatan di mana-mana. Ya, hanya itu yang akan kau temukan jika ada
di sini. Aku hanya seorang penulis bebas. Beberapa bukuku sudah ada yang
diterbitkan, walau mungkin hanya di sekitar kerajaan yang mengetahuinya.
Sampai suatu saat, ketika aku berjalan menyusuri kerajaan untuk mencoba mencari inspirasi tulisan baruku. Aku terhenti oleh keramaian orang-orang di pusat kota. Aku menghampiri mereka. Sampai aku tahu kalau itu hanya sebuah poster. Poster yang menggambarkan sebuah kerajaan yang tentram, sopan, dan sejahtera. Tapi hey, tunggu dulu! Poster ini menawarkan tempat tinggal baru. Mungkin aku bisa mendapatkan banyak inspirasi di sana. Tempat tinggal baru, pemandangan baru, orang-orang baru, dan inspirasi baru tentunya. Ditambah lagi, ini kerajaan yang sopan, aman, dan tentram, mungkin. Tidak seperti di sini. Hmm... kenapa tidak? Aku sudah memustuskannya. Ya, aku pindah.
Sampai suatu saat, ketika aku berjalan menyusuri kerajaan untuk mencoba mencari inspirasi tulisan baruku. Aku terhenti oleh keramaian orang-orang di pusat kota. Aku menghampiri mereka. Sampai aku tahu kalau itu hanya sebuah poster. Poster yang menggambarkan sebuah kerajaan yang tentram, sopan, dan sejahtera. Tapi hey, tunggu dulu! Poster ini menawarkan tempat tinggal baru. Mungkin aku bisa mendapatkan banyak inspirasi di sana. Tempat tinggal baru, pemandangan baru, orang-orang baru, dan inspirasi baru tentunya. Ditambah lagi, ini kerajaan yang sopan, aman, dan tentram, mungkin. Tidak seperti di sini. Hmm... kenapa tidak? Aku sudah memustuskannya. Ya, aku pindah.
Aku
mengemasi semua barangku, bersiap memulai hidup baru. Uang, baju, dan barang
yang mungkin berguna sudah lengkap di punggung. Aku siap!
Perjalanan
ini ternyata di luar dugaanku. Jaraknya puluhan mil dari negeriku. Akhirnya aku
sampai di kerajaan baru yang aku tuju. Kerajaan ini, berada di puncak bukit yang
cukup tinggi. Ternyata, nama kerajaan ini adalah “Runush Kingdom”. Sedikit aneh
untuk nama sebuah kerajaan, tapi siapa peduli.
Aku
terkesan dengan kerajaan ini. Pepohonan menyelimuti setiap jengkal taman di
setiap sudut kerajaan. Aku terus berjalan mengamati setiap yang ada, mulai dari
bangunannya yang cukup elegan, tata letak dan bentuk kerajaan yang mempunyai
kesan arsitektur ke barat-baratan.
“Permisi...”
katanya,
“Ya?”
“Ya. Ada apa?” tanyaku heran.
“Butuh
tempat tinggal? Tour keliling kerajaan? Pemandu?” katanya menawarkan.
“Hmm...
boleh juga. Berapa harganya?”
“50
keping emas,” jawabnya santai.
“Hah?!”
responku mendengar ucapannya.
“Hey,
itu setimpal dengan tempat tinggal, tour, dan pemandu!” timpalnya dengan muka
kesal.
“Baiklah,”
tanganku merogoh ke dalam ransel dengan sedikit terpaksa.
“Sip,
aku Beezus,” katanya sambil menyodorkan tangan.
“Hobart,” jawabku singkat.
Setelah
itu, aku diajak ke tempat tinggal baruku. Rumah yang cukup sederhana namun
nyaman dan masih dengan kesan arstektur barat. Perumahan ini khusus untuk
pendatang, jelasnya. Setelah menbereskan semua barangku, aku siap untuk tour
keliling Runush Kingdom. Walaupun dipandu oleh gadis yang bahkan aku tak tahu
sifatnya. Yang kutahu hanya satu, dia lebih berpengalaman. Tourku cukup
mengasikkan. Aku diajak Beezus pergi ke beberapa tempat yang cukup mempesona.
Dari patung guci kembar, labirin tua, dan reruntuhan bekas perang.
Sampai
ada keanehan saat aku sedang berbelanja. Beezus yang tadinya memakai
bahasa biasa, spontan menjadi kaku di depan penjual. Demikian pula dengan si
penjual.
“Hey,
kenapa tiba-tiba bicaramu berubah saat belanja?” tanyaku.
“Di
sini memang harus seperti itu,” jelasnya.
“Oh,”
jawabku polos.
***
Aku
melanjutkan hidupku dengan menulis. Di sini, ternyata lebih sulit untuk
mempublikasikan tulisan-tulisanku ini. Tapi aku tetap menulis. Beezus pun masih
sering berkunjung ke rumahku. Walaupun hanya sekedar minum teh dan mengobrol
denganku.
Dan
akhirnya, suatu kejadian yang tidak kuduga terjadi saat Beezus berkunjung ke
rumahku. Aku sedang menulis sebuah puisi, disampingku tergeletak sebuah buku
yang aku tulis berjudul “Kebebasan Itu Omong Kosong”. Dia terkaget. “Kau
penulis buku ini? Dan kau adalah Sunlight?” tanyanya.
“Ya,
itu nama penaku. Memang kenapa?” tanyaku heran.
“Aku
suka sekali buku ini!”
“Benarkah?
Dari mana kau tahu bukuku ini?”
“Dari
ayahku. Aku kira penulis buku ini adalah seorang pak tua yang ajalnya tak lama
lagi. Ternyata dia sebaya denganku,” jelasnya.
Terlihat
sekali ekspresi senangnya. Tapi tiba-tiba, “Mungkin ini saatnya.” Nadanya
menurun.
“Untuk
apa?” tanyaku.
“Untuk
tahu yang sebenarnya atas kondisi negeri ini.”
“Memangnya
apa yang belum aku tahu?” aku mulai penasaran.
“Sebenarnya
kerajaan ini adalah sebuah kebohongan!”
“Apa
maksudmu?” kataku tak mengerti.
“Semua
orang di kerajaan ini hidup dengan kebohongan. Saat kita belanja, kenapa aku
dan si penjual memakai bahasa yang kaku itu? Karena pemerintah! Mereka ingin
agar kerajaan ini tetap dikenal sebagai kerajaan yang sopan, aman, tentram, dan
omong kosong lainnya.”
“Hey,
kau tidak boleh berbicara seperti itu!” selaku.
“Padahal
didalamnya, para penjual, peternak, pelayan, dan semua orang di kerajaan ini
punya kebun binatang sendiri dalam mulutnya. Yang lebih sering mereka keluarkan
daripada kata-kata kaku kebohongan itu,” lanjut dia tanpa menghiraukan
ucapanku.
“Apa
yang kau bicarakan? Mereka itu orang yang baik,” emosiku terpancing.
“Kau
tidak tahu apa-apa, mereka semua pembohong!” bentaknya.
Aku
tersentak, “Jangan menghakimi orang lain seenaknya! Para pemerintah itu sudah
susah payah menjadikan kerajaan ini menjadi tentram!” aku membentak balik. Baru
kali ini aku membentak seorang wanita, apalagi dia adalah seorang gadis.
“Kamu
tidak tahu apa-apa!” bentak Beezus kembali, kali ini nadanya menurun. Matanya
sembab. Sepertinya ingin menangis, namun air matanya tidak keluar.
“Aku
tahu. Aku hidup dengan baik di sini.” Aku menurunkan nadaku, merasa bersalah
karena telah seorang gadis.
Kali
ini Beezus tidak berkata lagi. Dia berbalik dan melangkah keluar. Aku
tercengang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku berteriak dalam hati,
“Apa yang sudah kulakukan?”
***
Sejak
saat itu, Beezus tidak pernah datang menemuiku. Aku mencoba mencarinya, namun
itu adalah hal yang sia-sia. Sampai aku berpikir ulang tentang pembicaraan
terakhir dengannya. Lantas, aku pergi mencari Beezus untuk kesekian kalinya,
mencoba meminta maaf atas apa yang telah aku lakukan terhadapnya. Tapi, aku
tidak tahu rumahnya, dan bodohnya lagi aku tidak pernah menanyakannya. Hari
menjelang malam dan aku tetap tak dapat menemukannya. Ketika aku berjalan
melewati jembatan, aku melihat seorang wanita yang sepertinya tidak asing lagi
bagiku. Ya, itu Beezus. Kebetulan sekali.
“Beezus,”
“Hobart?
Apa yang kau lakukan di sini?” aku melihat dia mengusap matanya.
“Maafkan
aku, aku salah tidak mempercayaimu. Kau benar, mereka semua pembohong.”
Beezus
hanya berlinang, tanpa tanggapan. Tanpa diduga, dia memelukku. Dan itu hangat.
***
Keesokan
harinya...
Beezus
datang ke rumahku, kini dengan senyuman dan gelagat yang sama saat pertama kali
bertemu, manis sekali.
“Hai
Beezus, kemarilah! Aku sudah membuat tulisan tentang semua isi kerajaan ini.
Dari titik terangnya sampai kepada yang gelap gulita sekalipun,” terangku.
Dia
mengambil buku itu, dan membacanya. “Wow! Ini bagus sekali. Tidak ada rekayasa
sedikitpun. Apa judulnya?” tanya Beezus.
“Apa
harus begitu? Tapi aku masih bingung bagaimana mempublish tulisanku ini,”
kataku.
“Itu
mudah, ayahku mungkin bisa membantu. Itu jika kau mau,” tawarnya.
“Ya,
tentu. Siapa ayahmu?”
“Salah
satu gubernur kerajaan,”
“Hah?!”
aku tak percaya.
“Tenang,
ayahku bersama kita,” jelasnya. Beruntung penjelasannya itu membuatku lega.
***
1
bulan kemudian, bukuku laris terjual di dalam maupun di luar kerajaan. Aku
senang sekali, begitupun Beezus. Dia terlihat semakin cantik hari demi hari.
Tetapi,
tak lama setelah itu, aku menjadi buronan. Kemudian aku di tahan oleh
pemerintah pusat. Mereka menangkapku dan menuduhku atas pasal pencemaran nama
baik kerajaan.
***
Di
penghakiman.
“Hobart
Well, kau tertuduh atas tindakan pencorengan nama baik kerajaan!” sang hakim
bertuah.
“Aku
hanya menyampaikan kebenaran,” belaku.
“Kebenaran
apa? Kau hanya membuat negeri ini tercoreng atas tulisanmu. Negeri lain bahkan
menganggap negeri ini hanya sampah!” sang Raja ikut bicara.
“Tapi
bukankah itu kenyataan?”
“Dasar
sial! Kau boleh menganggap kerajaan ini seperti itu. Dan walaupun memang benar
seperti itu kenyataannya, seharusnya kamu tidak menyebarluaskannya ke luar
kerajaan,”
“Dasar
pembohong!” kataku berontak.
“Penjarakan
dia! Biarkan dia selamanya membusuk di sel bersama tulisan-tulisannya,” kutuk
sang Raja.
***
Kini
bukan inspirasi yang kudapatkan. Penjara ini memang busuk, dan benar apa yang
dikatakan Raja 2 tahun lalu.
“Sttt...
Hobart!”
“Beezus?
Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau...”
“Nanti
saja ceritanya. Sekarang, ayo cepat pergi,”
Aku
pun segera bergegas, pergi meninggalkan tempat yang hina ini. “Bagaimana kau
bisa ke sini?” tanyaku.
“Untuk
seorang anak gubernur, ini mudah,” jawabnya sembari cepat meraih genggaman
tanganku.
***
Dan
akhirnya aku bebas. Tapi aku yakin, tak semudah ini untuk mendapatkan kebebasan
murni. Mereka pasti akan segera mencariku. Aku punya ide! Mungkin berbahaya,
tapi ini lebih ampuh daripada racun ular kobra sekalipun. Aku akan membakar
kerajaan ini.
“Apa
kau gila?!” kata Beezus.
“Tidak,
ini adalah satu-satu nya cara untuk menghilangkan semua kebohongan ini. Dan aku
membutuhkanmu, ayahmu, dan bala tentaranya,”
Setelah
kujelaskan rencanaku pada ayah Beezus, ternyata di luar dugaan, dia sangat
setuju akan usulku ini.
Jadi
begini rencananya. Pertama, kita blokir semua jalur pengiriman dan komunikasi
yang ada. Tim 1, akan menyebarkan beberapa mesiu di bagian timur. Tim 2, di
bagian barat. Tim 3, di bagian utara. Tim 4, di bagian selatan. Dan...
***
“Yang
Mulia, Hobart Well telah berhasil melarikan diri dan berencana membakar
kerajaan,” kata salah satu panglima perang kerajaan.
“Kerahkan
semua pasukan, cari dia! Bunuh jika di perlukan, dan jaga seluruh sudut
kerajaan,” perintah Sang Raja.
Berkat
bantuan tentara ayah Beezus, bubuk mesiu berhasil dipasang tanpa adanya
kecurigaan dari tentara kerajaan. Beezus, ayahnya, juga para tentaranya
berhasil keluar kerajaan terlebih dahulu dengan menyamar menjadi pedagang
kubis.
“Aku
akan menghadapinya,” kataku.
“Tidak,
kau harus ikut bersama kami. Dan tidak harus kau yang melakukannya,” Beezus
memohon.
“Di
sini, memang harus seperti itu!” jawabku singkat.
Aku
berangkat menuju rumahku, bersiap untuk semua kemungkinan. Ya, tekadku sudah
bulat. Beberapa jam kemudian, penjaga patroli kerajaan menemukanku dan
mengepung rumahku.
“Menyerahlah
Hobart! Kau tidak bisa lari,” kata Chief Guard.
“Kenapa
harus lari? Kita akan mati bersama di sini. Karena aku sudah menaburkan bubuk
mesiu di sini,” kataku santai.
Aku
keluarkan korek dari sakuku. Para penjaga patroli itupun panik dan tidak sadar
akan bubuk mesiu yang sudah disebar. Tidak, bukan hanya di rumah saja. Seperti
rencana awal, bubuk mesiu itu terdapat di jalan, bahkan benteng, dan setiap
sudut kerajaan.
“Hey,
jangan macam-macam,” hardik Chief Guard panik.
Aku
melemparkan korekku ke bubuk mesiu. Ini sudah ada dalam rencanaku. Ya, pusat
mesiu itu adalah rumahku. Aku yang memulai, dan aku pulalah yang akan
mengakhiri.
Dalam
hitungan detik bubuk mesiupun terbakar cepat, bahkan –mungkin—lebih cepat
daripada tupai yang melompat di atas lava panas. Dan...
BOOOM!!
Ledakan
terjadi di mana-mana. Selesai sudah. Selamat tinggal Runush Kingdom, selamat
tinggal kebohongan.
***
Di
luar kerajaan.
“Hobart,
kau berhasil,” sergap Beezus dengan pelukan.
“Ya.
untung aku sudah menyiapkan jalan keluar bawah tanah,” kataku, membalas
pelukannya.
“Bagus
nak,” tambah ayah Bezuus. Dia mengusap kepalaku.
Akhirnya,
kami semua sepakat untuk pergi ke negeri asalku. Kondisinya? Ah... Mereka telah
berubah karena buku yang kutulis. Aku memulai hidup baru, menjadi seorang
politikus. Menikah dengan Beezus? Itu tentu, karena kisah ini berakhir bahagia.
Buletin Al-I'lan/edisi 3/Maret 2013